Pak Tua Bruk! Suara gebrakan pintu terdengar. Aroma kepanikan mulai menegangkan bulu kuduk. Kakak pulang dengan muka pucat lagi panik. “Ada apa, Kak?” Tanyaku. “Kakek meninggal.” Kami terdiam, saling menatap, mulut terkunci, dan tubuh mulai terasa melayang. Aku tersungkur di pelukan kakak. *** Tidak membuang waktu. Kami langsung melipat beberapa baju yang dikemas dalam tas gendongku. Tidak pikir panjang. Kami melangkahkan kaki seribu menuju rumah duka. Di perjalanan, kakak terus menyebarkan berita duka. Aku terus menggenggam kaligrafi berlatar sawah pahatan kakek yang kuterima setahun lalu. *** Perabot rumah menjadi saksi kematiannya. Tahta yang dimiliki anak-anaknya membuat ia hidup sebatangkara. Kotak surat yang rutin terisi dengan amplop kecil berisi rupiah ikut menemani. Tubuh rentanya selalu mandiri membawa cangkul dan parit. Padahal ia tak memiliki sawah. Tapi, ia selalu menyukai sawah. *** Kami tamu pertama di rumah duka. Jasad kakak sudah dibal...