Langsung ke konten utama

Postingan

Anak Kita Pergi Mengejar Layang-Layang Seorang pria duduk di kursi rotan dengan menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Tangannya memegang secarik kertas yang berisi deretan kata-kata fakta dan opini, terkadang juga ada iklan perumahan atau lowongan pekerjaan. Ditemani teh hangat racikan kekasihnya. Bola mata pria itu berjalan ke kanan dan ke kiri, terkadang dahinya ikut mengerenyut, terkadang bibirnya sedikit tersenyum, dan tak jarang ekspresinya sangat datar. Setelah beberapa menit, akhirnya ia berbicara. "Sayang." "Iya." "Anak kita sedang apa?" "Sedang main layang-layang." "Matahari baru terbangun, ia sudah bermain layang-layang?" "Iya." Pria itu terdiam lagi, kembali bermesraan dengan kertas-kertas beritanya. *** Sekitar pukul sepuluh pagi, pria itu akan pergi ke kebun. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dengan celana kolor yang tidak penuh menutupi lututnya, di lehernya menggantung
Postingan terbaru
Pak Tua Bruk! Suara gebrakan pintu terdengar. Aroma kepanikan mulai menegangkan bulu kuduk. Kakak pulang dengan muka pucat lagi panik. “Ada apa, Kak?” Tanyaku. “Kakek meninggal.” Kami terdiam, saling menatap, mulut terkunci, dan tubuh mulai terasa melayang. Aku tersungkur di pelukan kakak. *** Tidak membuang waktu. Kami langsung melipat beberapa baju yang dikemas dalam tas gendongku. Tidak pikir panjang. Kami melangkahkan kaki seribu menuju rumah duka. Di perjalanan, kakak terus menyebarkan berita duka. Aku terus menggenggam kaligrafi berlatar sawah pahatan kakek yang kuterima setahun lalu. *** Perabot rumah menjadi saksi kematiannya. Tahta yang dimiliki anak-anaknya membuat ia hidup sebatangkara. Kotak surat yang rutin terisi dengan amplop kecil berisi rupiah ikut menemani. Tubuh rentanya selalu mandiri membawa cangkul dan parit. Padahal ia tak memiliki sawah. Tapi, ia selalu menyukai sawah. *** Kami tamu pertama di rumah duka. Jasad kakak sudah dibal
Senja? Rasanya aku ingin mati kembali. Setelah kematianku dua tahun yang lalu, aku rasa aku belum mati. Aku ingin memejamkan mata menikmati semilir angin yang mempertemukan daun-daun kelapa, mendengar deru ombak yang menerjang pantai, merasakan dinginnya pasir putih di telapak kaki. Aku ingin berbaring di atas pasir basah dengan selimut gelombang yang menepi. Bersama senja yang mulai menenggelamkan matahari di laut lepas. Aku mulai tenang menikmati angin, menunggu bintang-bintang datang menerangi pemikiran senja. Namun, seorang manusia datang menggangguku, mengajakku menghadap layar kecil yang akan mencetak mukaku. Hebat sekali alat-alat sekarang, pikirku. Wajahku bisa berpindah tempat dan berdiam di dalam layar seperti aquarium dua dimensi. Tanpa ku sadari sedari tadi, sudah banyak orang-orang yang tidak bisa menikmati indahnya menanti kematian dalam jiwa di pantai ini. Segerombolan orang berebut mencari senja dan warna orange kehitaman. Melakukan pose-pose seserius mungkin untu
Kisah Gawai Di Akhir Minggu Pagi terasa sunyi. Tak ada dering hp yang biasa terdengar di akhir minggu ini. Kembali pikiran melayang memutar waktu dengan cepat. Kembali merekam dengan jelas kronologis percakapan semalam. Satu per satu klise peristiwa bermunculan dalam kotak memori lama. Seperti luka baru yang basah tersiram air. Perih dan sakit. Hal sepele yang tak sengaja menyeruak dari mulutku, ternyata membuatnya tersinggung tanpa kurencanakan. Sekali hati nya terkoyak, sehari dua hari lisannya akan mengoyak. Ya, sedetik ku salah ucap, rasa keindahan malam hancur dalam sekejap. Mulut membungkam, telinga membuka, dan hati menahan setiap rindu yang tergantikan oleh luka. Sebab, rencana melepas rindu, namun mala petaka datang tak diundang. "Jangan berbicara seperti itu, aku tidak suka, karena aku sayang kalian semua." Hanya satu kalimat itu kulontarkan, dan alhasil nihil, bahkan minus. "Kamu seharusnya bisa mengerti, kamu seharusnya bisa paham, kamu suda
Anak Tangga Nur Septiani Wulandari Inginku menghancurkan dunia. Ya, dunia. Dunia dalam penaku. Apa kau pikir aku bisa menghancurkan dunia? Hah (mendengus kesal). Bukan aku yang menghancurkan dunia, tapi seonggok kecil ego mereka yang menghancurkn duniaku. Malam ini bulan tak purnama. Apakah kau melihat? Perhatikan! Apakah bulan itu mendengus? Atau hancur berkeping-keping? Kurasa tidak. Bulan itu hanya menutupi sebagian cahayanya saja. Esok atau tulat atau tubin mungkin bulan pasti kembali bulat atau bahkan menghilang ditelan kegelapan malam. Siapa yang tau hari esok? Kau tidak akan bisa memprediksinya. Malam ini juga, aku termenung di sudut keramaian. Tersisihkan hampir tak terlihat. Seperti sebagian cahaya bulan yang menghilang itu. Apa kau sadar? Aku di sini memperhatikan kau. Menunggu kau menoleh sedikit pada dinding-dinding angin malam. Mulut ini bergetar, bukan karena udara dingin yang menerjang wajah mungilku. Namun, banyak sekali kisah-kisah telah termakan oleh
Suara? Hujan Sore Itu Kala itu, ketika rintik hujan membasahi bumi. Terdengar rintihan suara lembut di sudut ruangan itu. Aku pun terbangun dari lamunanku. Mulai kuperhatikan sumber suara itu. Siapakah gerangan? Sorot mataku semakin tajam, daun telingaku semakin peka, dan kakiku mulai melangkah. Perlahan, aku dekati sumber suara itu.  Langkahku semakin mendekat, namun suara itu semakin jauh.  Tiba-tiba…byar. Langkahku terhenti karena seruan Ayahku. “Nak, sedang apa kamu di sana? Daritadi ayah tidak mendengar suaramu.” ucap Ayah.  “Oh… Emm… Enggak apa-apa Ayah.” jawabku.  Saat itu, memang hanya ada aku, Ayah, dan Kakak di rumah. Ayah sedang membaca Koran di ruang keluarga ; Kakak sedang tidur di kamarnya ; Ibu di rumah tetangga mengikuti pengajian.  Setelah mengecek keadaanku, Ayah kembali membaca koran dan sedikit menyeruput kopi hangat buatan Ibu. Aku kembali dalam lamunan, terjerat dalam rasa penasaran. Suara siapa tadi? Suara itu menghilang seketika, saat Ayah meman
Mimpi Diantara Mimpi Ketika pagi menarik sang fajar tuk membentangkan keindahannya. Aku baru terbangun dari mimpiku. Mimpi seperti bukan mimpi, mimpi yang ada dalam mimpi, atau mimpi sang pembuat mimpi.  Entahlah, aku lelah memikirkan mimpi serta mimpi yang menggelayut dalam pikiranku.  Yang menjadi pertanyaan ku sekarang, mengapa ketika ku terbangun, aku sudah memegang tiga kotak hitam. Satu di tangan kananku, satu di tangan kiriku, dan satu lagi di atas kepalaku. Dari manakah datangnya kotak itu? Apakah itu mimpi? Atau aku masih dalam mimpi?.  *** Aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan pergi mencuci mukaku. Sembari ku lihat sekitar apakah aku masih dalam mimpi?. Setelah beberapa menit mengawasi setiap kejadian di sekitar ku. Akupun mulai yakin ini bukanlah mimpi.  Aku memulai aktivitas seperti  biasa dimulai dari membereskan kamar tidurku.  Ketika itu mataku kembali menatap tiga kotak itu. Seperti ada aura yang memanggilku untuk memegang kotak itu.  Perl