Anak
Kita Pergi Mengejar Layang-Layang
Seorang pria duduk di kursi rotan dengan menumpangkan
kaki kanan di atas kaki kirinya. Tangannya memegang secarik kertas yang berisi
deretan kata-kata fakta dan opini, terkadang juga ada iklan perumahan atau
lowongan pekerjaan. Ditemani teh hangat racikan kekasihnya.
Bola mata pria itu berjalan ke kanan dan ke kiri,
terkadang dahinya ikut mengerenyut, terkadang bibirnya sedikit tersenyum, dan
tak jarang ekspresinya sangat datar. Setelah beberapa menit, akhirnya ia
berbicara.
"Sayang."
"Iya."
"Anak kita sedang apa?"
"Sedang main layang-layang."
"Matahari baru terbangun, ia sudah bermain
layang-layang?"
"Iya."
Pria itu terdiam lagi, kembali bermesraan dengan
kertas-kertas beritanya.
***
Sekitar pukul sepuluh pagi, pria itu akan pergi ke
kebun. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dengan celana kolor yang tidak
penuh menutupi lututnya, di lehernya menggantung seutas tali dari capingnya.
Tangan kanannya memanggul pacul. Pria itu sudah siap untuk pergi berkebun.
Namun, ia kembali menyahut kekasihnya.
"Sayang."
"Iya."
"Jangan lupa menyusulku saat jam makan siang. Aku
tak bisa berlama-lama tak melihatmu."
"Kata-katamu tidak pernah berubah sejak awal
pernikahan."
"Aku belum memikirkan ada kata-kata yang lebih
romantis dari itu. Anak kita sedang apa?"
"Bermain layangan."
"Masih bermain layangan?"
"Iya."
"Yasudah, aku berangkat dulu."
Pria itu pun pergi meninggalkan gubuknya.
***
Matahari tepat di atas kepala. Pria itu sedang
menunggu kekasihnya di saung tempat ia dan kekasihnya bertemu pertama kali.
Dari kejauhan nampak wanita paruh baya mengenakan
kebaya tempo dulu, sambil membawa rantang makanan di tangan kanannya dan tangan
kirinya menyingsatkan kain samping yang melingkar di pinggulnya. Jalannya
sangat cepat, seperti terburu-buru.
Mata pria itu agak rabun, ia sedang memperhatikan lagi
wanita itu, apakah ia kekasihnya atau bukan. Setelah beberapa detik, ia
memastikan bahwa wanita itu bukan kekasihnya, melainkan wanita pujaan pak Sakir
pemilik sawah dekat kebunnya.
Selang beberapa waktu, ada seorang wanita paruh baya
mengenakan kebaya tempo dulu yang berjalan di tengah sawah dengan sangat
gemulai. Kakinya perlahan menapaki jalan setapak sembari menikmati hamparan
hijau yang menyejukkan mata. Satu dari tangan lembut wanita itu membawa rantang
dan satu tangan lagi membawa poci teh.
Tidak perlu berpikir lama, pria itu sudah bisa
memastikan itu adalah kekasihnya yang selalu berjalan bak putri raja.
"Ini, ku bawakan masakan kesukaan mu."
"Semur jengkol."
"Iya, dari dulu sampai sekarang seleramu tak pernah
berubah."
"Tidak apa. Supaya selera cintaku akan tidak akan
pernah berubah."
"Cinta pada siapa?"
"Pada permaisuri di depan mataku yang ku temukan
di persimpangan jalan setapak."
Muka wanita itu memerah.
Pria itu melanjutkan pertanyaannya.
"Anak kita sedang apa?"
"Sedang tidur."
"Tidak bermain layangan?"
"Nanti sore ia bermain layangan di pos ronda
dekat lapangan."
"Sama siapa?"
"Katanya bersama temannya, tapi ia lebih sering
bermain layangan sendirian."
"Aku mulai khawatir."
"Kenapa?"
"Anak kita sering sekali bermain layangan."
"Loh, itu kan ulahmu yang mengajarkan anakmu
bermain layangan supaya diam dan tidak mengganggu pekerjaanmu."
"Tapi, kau seorang ibu. Harusnya bisa kau batasi
anak kita."
"Apa yg harus ku perbuat kalau kau terus saja
menjejali anak itu dengan layangan."
Pria itu terdiam.
"Sudah, aku pulang dulu. Anak kita belum makan,
kau lanjutkan pekerjaanmu. Kalau kau pulang nanti aku tak ada, aku sedang di
rumah bu Irsa, dia sedang punya hajat."
"Iya."
***
Tepat pukul 4 sore pria itu sampai di gubuknya.
Seperti yang kekasihnya bilang, di rumah tidak akan ada siapa-siapa.
Dia pergi ke dapur menyeduh kopi hitamnya sendiri.
"Gara-gara bu Isra punya hajat, kopi sore ini tak
ada sentuhan cinta kekasihku."
Pria itu duduk di kursi rotan sembari menikmati
seduhan kopi hangat.
***
Kekasihnya tiba dengan kantung mata yang membesar dan
suaranya hampir habis.
"Kemana saja kau, wajahmu sangat lesuh."
"Dari tanah kuburan dekat lapangan."
"Ikut mencari layang-layang dengan buah hati
kita?"
"Layang-layangnya masih ada, yang bermain
layang-layangnya sudah di surga sejak 5 tahun lalu."
Pria itu terbangun dari tempat duduknya. Masuk ke
dalam kamar buah hatinya dan memandangi layangan kertas miliknya dulu.
"Coba dulu kuberikan layang-layang kertas ini
padamu, bukan layar layang-layang."
Chandra Kirana, 28 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar