Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018
Pak Tua Bruk! Suara gebrakan pintu terdengar. Aroma kepanikan mulai menegangkan bulu kuduk. Kakak pulang dengan muka pucat lagi panik. “Ada apa, Kak?” Tanyaku. “Kakek meninggal.” Kami terdiam, saling menatap, mulut terkunci, dan tubuh mulai terasa melayang. Aku tersungkur di pelukan kakak. *** Tidak membuang waktu. Kami langsung melipat beberapa baju yang dikemas dalam tas gendongku. Tidak pikir panjang. Kami melangkahkan kaki seribu menuju rumah duka. Di perjalanan, kakak terus menyebarkan berita duka. Aku terus menggenggam kaligrafi berlatar sawah pahatan kakek yang kuterima setahun lalu. *** Perabot rumah menjadi saksi kematiannya. Tahta yang dimiliki anak-anaknya membuat ia hidup sebatangkara. Kotak surat yang rutin terisi dengan amplop kecil berisi rupiah ikut menemani. Tubuh rentanya selalu mandiri membawa cangkul dan parit. Padahal ia tak memiliki sawah. Tapi, ia selalu menyukai sawah. *** Kami tamu pertama di rumah duka. Jasad kakak sudah dibal
Senja? Rasanya aku ingin mati kembali. Setelah kematianku dua tahun yang lalu, aku rasa aku belum mati. Aku ingin memejamkan mata menikmati semilir angin yang mempertemukan daun-daun kelapa, mendengar deru ombak yang menerjang pantai, merasakan dinginnya pasir putih di telapak kaki. Aku ingin berbaring di atas pasir basah dengan selimut gelombang yang menepi. Bersama senja yang mulai menenggelamkan matahari di laut lepas. Aku mulai tenang menikmati angin, menunggu bintang-bintang datang menerangi pemikiran senja. Namun, seorang manusia datang menggangguku, mengajakku menghadap layar kecil yang akan mencetak mukaku. Hebat sekali alat-alat sekarang, pikirku. Wajahku bisa berpindah tempat dan berdiam di dalam layar seperti aquarium dua dimensi. Tanpa ku sadari sedari tadi, sudah banyak orang-orang yang tidak bisa menikmati indahnya menanti kematian dalam jiwa di pantai ini. Segerombolan orang berebut mencari senja dan warna orange kehitaman. Melakukan pose-pose seserius mungkin untu