Kisah
Gawai Di Akhir Minggu
Pagi terasa sunyi.
Tak ada dering hp yang biasa terdengar di akhir minggu ini.
Kembali pikiran
melayang memutar waktu dengan cepat. Kembali merekam dengan jelas kronologis
percakapan semalam.
Satu per satu klise
peristiwa bermunculan dalam kotak memori lama. Seperti luka baru yang basah
tersiram air. Perih dan sakit.
Hal sepele yang tak
sengaja menyeruak dari mulutku, ternyata membuatnya tersinggung tanpa
kurencanakan. Sekali hati nya terkoyak, sehari dua hari lisannya akan mengoyak.
Ya, sedetik ku salah ucap, rasa keindahan malam hancur dalam sekejap. Mulut
membungkam, telinga membuka, dan hati menahan setiap rindu yang tergantikan
oleh luka. Sebab, rencana melepas rindu, namun mala petaka datang tak diundang.
"Jangan
berbicara seperti itu, aku tidak suka, karena aku sayang kalian semua."
Hanya satu kalimat
itu kulontarkan, dan alhasil nihil, bahkan minus.
"Kamu seharusnya
bisa mengerti, kamu seharusnya bisa paham, kamu sudah dewasa! Kamu tidak
mengerti apa yang saya rasakan. Semoga kamu bisa merasakan apa yang saya
rasakan. Sakit rasanya dinasehati oleh kamu yang belum mengetahui apa-apa.
Jangan berbicara sampai kapanpun!"
Tut... Tut... Tut...
Jleb! Mendengarnya
seakan waktu tiba-tiba berhenti berputar, Sambaran petir terdengar sangat hebat
walaupun bulan tetap tenang bercahaya.
Tanganku mulai
lunglai. Gawai terlepas meninggalkan jari jemari dengan keraguan nya. Aku
berusaha mengendalikan hati ku yang beberapa menit lalu sudah menerima duri-duri
mawar yang nampak indah namun tetap menyakitkan. Jika bukan karena rindu, aku
tak akan bertahan untuk terus mengaktifkan gawai.
Butir-butir rasa
sakit mulai menetes membasahi pipi. Pikiran melayang jauh mengingat kenangan
apa yang membuat aku sangat bodoh. Apakah benar kenangan itu yang membuat ku
bodoh? Hatiku masih menolak. Aku terus menggali alasan kenapa aku sangat bodoh
sampai dia tidak ingin berbicara lagi padaku?
Aku ambil selembar
kenangan dalam otakku dan aku baca. Ku katakan bukan dan aku buang lembaran
itu. Satu jam lamanya aku mengobrak abrik data dalam otak. Kutemukan selembar
data, lalu aku buang karena bukan data itu yang aku cari. Kutemukan lagi,
kubuang lagi. Hingga akhirnya kutemukan data yang kucari, penyebab aku sangat
bodoh selalu menyinggung perasaannya, namun bukan di bagian-bagian otakku,
melainkan ada pada sisi lain hatiku. Ya, nafsu yang membuatku bodoh.
Aku semakin down
ketika otakku sudah berantakan, kenangan berpuluh-puluh tahun berserakan di
mana mana memenuhi ruang kamarku dan kenyataan semakin pahit ketika nafsu sudah
menduduki singgasana di hatiku. Hati nurani dipenjarakan olehnya. Bagaimana aku
harus berperang melawan nafsu, sedangkan otakku sedang berantakan tercecer di
mana mana. Senjata apa yang harus aku keluarkan? Aku mengobrak-abrik data
otakku yang sudah berantakan di kamar. Tak kunjung kutemukan cara memerangi
nafsu.
Tak terasa nafsu
sudah mulai menguasai tubuhku. Karena otak berantakan, mataku mulai mengatup,
terdengar bisikan-bisikan penguasa singgasana itu. Hingga akhirnya aku tertidur
dalam kebencian dan amarah yang bercampur baur.
***
Keesokan harinya, aku
terbangun dan menoleh pada tumpukan data di samping tubuhku. Mataku terbelalak
dan langsung memastikan data ini sudah benar urutannya dari semenjak awal otakku
dipakai. Ya, data ini sudah benar dan urit. Aku masukkan kembali dalam otakku
dan aku tutup rapat-rapat.
Ketika tersadar, aku
baru terpikir, siapa yang merapihkan otakku, bahkan hati terasa tenang, apakah
hati nurani sudah bebas?
Aku ingat kembali kejadian
semalam ketika jerat nafsu sudah menguasaiku. Namun, ada satu hal kebaikan yang
aku ingat. Aku berdoa sebelum kelopak mataku benar-benar mengatup. Kebiasaanku
yang menolong saat itu, bukan otak ataupun hati nurani yang membawa. Sebab otak
sedang berantakan dan hati nurani dipenjarakan oleh nafsu.
Dengan doa itu,
ternyata malaikat datang dan sibuk memerangi sang perebut singgasana hatiku.
Akhirnya akupun tahu endingnya. Ya, malaikat adalah pemenang. Berhasil
membebaskan aku dari malam yang kelam itu.
***
Pagi hari, ketika
ayam jago berkokok, lembaran baru dibuka. Melupakan peristiwa semalam dan
memulai aktivitas.
Sudah mandi, sudah
membereskan kasur, sudah nyuci, dan lain sebagainya sudah aku kerjakan. Aku
mulai bersantai menyeduh teh hangat untuk pagi yang cerah. Aku duduk dan aku
dekatkan indra penciumanku mendekati bibir cangkir untuk mendapatkan aroma khas
secangkir teh celup.
Sruput...
Irama air yang masuk
dalam mulut melalui bibir yang menyempit semakin menambah ketenangan pagi.
Teh hangat yang masuk
ke dalam alat pencernaan membuat tubuh semakin relaks. Terasa hangat, nyaman,
dan tentram.
Aku mulai
membuka-buka koran. Bersantai menikmati minggu pagi yang cerah. Namun,
ketenangan itu tak berlangsung lama. Suara gawaiku mulai terdengar lagi.
Ditengah ketenangan,
mataku melirik ke arah kamar tempat gawaiku berada. Hatiku berkata "Angkat
atau tidak?" aku takut keadaanku kacau seperti semalam. Namun, rindu tetap
menyelimuti, berharap ia pun mendapatkan ketenangan sepertiku pagi ini.
Akhirnya aku
mengangkat telfon itu dan sandiwara dimulai.
Mulutku membungkam,
terbuka hanya menjawab salam. Ia terus menyudutkanku dengan pertanyaan yang
seharusnya tak perlu ia lontarkan. Tanpa di minta pun aku akan berusaha
membahagiakannya.
Api membara dalam
tubuhku.
“Apakah barang-barang
dan kejutan yang kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, dan tahun-tahun
sebelumnya tidak berarti sama sekali. Apakah itu bukan wujud kasih sayangku?” Amarahku
dalam hati.
Aku tak berkutik.
Waktu terasa terhenti kembali. Bahkan bukan hanya waktu yang terhenti. Rasanya
darahku berhenti mengalir. Seakan hidup akan berakhir detik itu juga.
Hatiku terlanjur mati
untuk menerima keindahan dunia. Seakan cahaya matahari tak memberikan cahaya di
kedua bola mataku. Sebab, mataku banjir menumpuk membentuk bendungan air. Kapan
akan tumpah? Entahlah. Mungkin sedetik yang akan datang.
Aku terus terdiam.
Dan
Tut…Tut…Tut…
Sandiwara berakhir.
Tubuhku mematung.
Sejam, dua jam. Sehari, dua hari. Pandangan mata kosong menatap gawai. Menunggu
kedatangan kenangan-kenangan bersamanya muncul kembali. Namun, ia tak kunjung
datang, sekalipun di layar gawai.
Entah sudah berapa
lama aku duduk di kursi ini sembari menatap gawai yang tergeletak di meja dekat
cangkir tehku.
Tiba-tiba kulihat
gawaiku bordering dengan tampilan nama “Si Rindu”. Ya, sudah kupastikan itu
adalah dia. Namun, tubuhku sudah terbujur kaku duduk di kursi ditemani
secangkir teh yang sudah tak lagi hangat, bahkan sudah berkurang diminum oleh
panas matahari.
Gawai itu terus
berdering. Entah sampai kapan. Kini dia yang akan menungguku hingga terbujur
kaku.
Komentar
Posting Komentar