Anak
Tangga
Nur Septiani
Wulandari
Inginku menghancurkan
dunia. Ya, dunia. Dunia dalam penaku.
Apa kau pikir aku
bisa menghancurkan dunia? Hah (mendengus kesal). Bukan aku yang menghancurkan
dunia, tapi seonggok kecil ego mereka yang menghancurkn duniaku.
Malam ini bulan tak
purnama. Apakah kau melihat? Perhatikan! Apakah bulan itu mendengus? Atau
hancur berkeping-keping?
Kurasa tidak. Bulan
itu hanya menutupi sebagian cahayanya saja. Esok atau tulat atau tubin mungkin
bulan pasti kembali bulat atau bahkan menghilang ditelan kegelapan malam.
Siapa yang tau hari
esok? Kau tidak akan bisa memprediksinya.
Malam ini juga, aku
termenung di sudut keramaian. Tersisihkan hampir tak terlihat. Seperti sebagian
cahaya bulan yang menghilang itu. Apa kau sadar? Aku di sini memperhatikan kau.
Menunggu kau menoleh sedikit pada dinding-dinding angin malam.
Mulut ini bergetar,
bukan karena udara dingin yang menerjang wajah mungilku. Namun, banyak sekali
kisah-kisah telah termakan oleh waktu yang belum sempat kuceritakan pada kau.
Bahkan kau pun tak perduli jikalau cerita itu setiap detiknya digerogoti
rayap-rayap pikun.
Kau tau? Hampir aku
ingin menghancurkan dunia karena ulahmu. Setiap kepahitan aku sumpal pada mulut
malam yang menganga. Kesedihan kutitipkan pada angin yang hilir mudik. Amarahku
aku simpan dalam gunung-gunung merapi yang sewaktu-waktu akan memuntahkan lahar
panasnya.
Kau tidak sadar juga?
Keterlaluan!
***
Aku terus menunggu,
sampai suatu hari kulihat anak tangga asing pada pandanganku. Apakah tetangga telah
membuat rumah baru? Atau membuat atap baru?
Entahlah, aku tidak
sadar. Kerjaanku hanya memandangi bulan, berharap aku bisa pergi ke sana dan
menemukan ketenangan.
Pandanganku kali ini
terusik oleh anak tangga itu. Aku penasaran, ada apa di sana?
Aku menyelidiki anak
tangga itu, milik siapa dan dibuat oleh siapa. Namun, alisku kembali mengerut.
Aku bertanya pada orang-orang sekitar, mereka bilang di sana tidak ada anak
tangga, hanya ada sepetak taman dan kebun. Kenapa hanya aku yang bisa melihat anak
tangga itu?
Tunggu. Bukan, bukan
hanya aku yang bisa melihatnya. Karena aku pernah melihat ada beberapa orang
yang menaiki anak tangga itu. Ya, aku ingat sekali.
Pikiranku memutar,
mencari dan menggali kembali sumber-sumber informasi yang didapatkan oleh panca
indraku tentang anak tangga itu.
***
Malam kembali membawa
cahaya bulan. Namun, kali ini bulan menyipitkan cahanya. Malam terasa lebih
gelap. Namun, tidak untuk pandanganku. Malam tetap terang, anak tangga itu
diunjungnya memancarkan cahaya yang sangat binar.
Aku semakin
penasaran. Ada apa di sana? Kenapa tidak semua orang bisa melihat anak tangga
itu?
Kemarin, aku melihat
lagi ada seseorang yang menaiki anak tangga itu. Begitupun dengan dua dan tiga
hari kebelakang. Bahkan seminggu yang lalu, aku melihat orang yang berkelompok
menaiki anak tangga itu.
Kuperhatikan setiap
hari, yang menaiki anak tangga itu memiliki paras wajah yang sama seperti
wajahku pada cermin. Kusam, rumit, dan penuh harapan dalam penantian. Bahkan
ada yang lebih dari itu, mereka seperti sangat berputus asa.
Kembali kuperhatikan,
seminggu, dua minggu, dan sebulan berlalu. Aku belum juga menemukan jawaban
misteri anak tangga itu.
Aku ingin sekali ke
sana, mencari tau ada apa di sana? Dan yang membuatku semakin tertarik untuk
menaiki anak tangga itu, ketika melihat orang-orang yang sama kembali dengan
muka gembira bahkan bercahaya.
Apakah mereka
menyerap cahaya bulan? Akhir-akhir ini bulan meredupkan cahayanya.
Ah tidak mungkin!
***
Ketika aku sedang
memantapkan hati untuk menaiki anak tangga itu. Lagi-lagi kau menggangguku. Kau
tiba-tiba datang dengan sebutir kelembutan yang membawaku masuk dalam
ketenangan malam ini. Belaian tanganmu membawaku kembali mengenang masa-masa
indah bersamamu. Aroma masakan itu, tak pernah membuatku teringat dengan sakit
hati yang sudah berlubang dan menjamur di hampir setiap sudut tubuhku.
Aku terlena oleh kasih
sayang kau malam ini. Malam terasa sangat lama dan mengasyikkan bersama kau.
Bersenda gurau di depan kotak penipuan sejuta umat.
Sayangnya, itu tidak
berlangsung lama. Ketika mata mulai terpejam karena lelah. Kau kembali
mengucapkan kata yang membuatku enggan membuka mulut, bahkan aku enggan
menatapmu. Satu kalimat itu yang paling aku benci!
“Aku ingin berpisah
dengan dia.”
Sangat menyayat hati.
Aku pergi dari
kamarku. Aku kembali mengumpat di tengah keramaian dan memperhatikan bulan.
Malam itu lebih sunyi
dari biasanya. Semakin banyak lubang hitam dalam pikiranku. Rayap semakin cepat
menggerogoti setiap sel-sel dalam otakku.
Prang!
Suara tong sampah
terlempar hebat di jalanan.
“Kehidupan apa ini!”
Kesalku malam itu.
Darah mulai mengalir
dari jemari tanganku yang juga membekas di dinding tempatku bersandar.
Aku marah! Sangat
marah!
Kalimat itu terus
menguntit setiap jengkal kebahagianku.
“Aku ingin berpisah
dengan dia. Kamu harus mengerti!”
Bagaimana aku harus
mengerti! Aku sayang mereka! Haruskan aku membunuh diriku sendiri untuk
kebahagiaan kalian! Aku hanya penghalang!
***
Isak tangis terdengar
sangat keras pada pertengahan malam itu. Kulihat kembali anak tangga
kebahagiaan. Ya, anak tangga itu kuberi nama tangga kebahagiaan. Orang-orang
yang kembali dari atas sana pasti tersenyum dengan wajah tenang dan
berbinar-binar.
Malam itu, tangisanku
menghentikan seorang gadis. Gadis itu kulihat ingin menaiki anak tangga.
Kuperhatikan gerakannya dengan menahan isakan tangisanku yang sangat hebat.
Namun, gadis itu tersadar akan perhatianku padanya.
Dia berhenti tepat di
bawah anak tangga itu. Kemudian, menoleh ke arahku dan tersenyum padaku. Seolah
dia mengetahui semua arti isakan tangisku.
Mataku membelalak
kaget ketika kulihat senyuman itu. Begitu hangat dan menenangkan.
Dia tidak lagi
menolehkan wajahnya, namun kini dia berputar dan berjalan ke arahku.
Aku langsung mengusap
air mataku dan bangun dari dudukku.
“Apa ini? Kenapa aku
merasa ada ketenangan dan merasa ada yang menemani? Aku bahagia?”
Gadis itu semakin
mendekat dan mengulurkan tangannya padaku.
“Ikut aku, yu.” Seru
gadis itu padaku sambil menampilkan senyum terbaiknya.
“Ma..ma..mau kemana?”
Jawabku terkagum dan penasaran.
“Mencari ketenangan
jiwa yang tidak semua orang dapatkan jika tidak dijemputnya sendiri.”
“Maksud kamu?”
“Aku tahu rasa
sakitmu sangat mendalam. Yu, kita menaiki anak tangga itu. Kemudian, mengenali siapa
Sang Maha Pemilik Jiwa. Kita akan menemukan ketenangan yang hakiki. Kamu tidak
akan menangis tanpa arti dan tujuan lagi setelah itu. Kamu pernah lihat kan,
betapa bahagianya orang-orang yang telah menaiki anak tangga itu?”
“I..iya, aku sering
melihatnya.”
“Yasudah, tunggu apa
lagi? orang-orang di sekitarmu tak akan memperdulikanmu walaupun kau ditelan
oleh gelapnya malam dengan tipu daya bulan yang membuat malam selalu tampak
indah.”
Aku tersenyum dengan
menggandeng tangan gadis itu, berjalan menuju anak tangga kebahagiaan. Katanya
aku akan bertemu Sang Maha Pemilik Jiwa dalam hatiku.
Aku dan gadis itu
mulai menaiki anak tangga itu dan hilang ditelan oleh cahaya keabadian.
Komentar
Posting Komentar