Langsung ke konten utama

Pak Tua

Bruk!
Suara gebrakan pintu terdengar. Aroma kepanikan mulai menegangkan bulu kuduk. Kakak pulang dengan muka pucat lagi panik.
“Ada apa, Kak?” Tanyaku.
“Kakek meninggal.”
Kami terdiam, saling menatap, mulut terkunci, dan tubuh mulai terasa melayang. Aku tersungkur di pelukan kakak.
***
Tidak membuang waktu. Kami langsung melipat beberapa baju yang dikemas dalam tas gendongku. Tidak pikir panjang. Kami melangkahkan kaki seribu menuju rumah duka.
Di perjalanan, kakak terus menyebarkan berita duka. Aku terus menggenggam kaligrafi berlatar sawah pahatan kakek yang kuterima setahun lalu.

***
Perabot rumah menjadi saksi kematiannya. Tahta yang dimiliki anak-anaknya membuat ia hidup sebatangkara. Kotak surat yang rutin terisi dengan amplop kecil berisi rupiah ikut menemani.
Tubuh rentanya selalu mandiri membawa cangkul dan parit. Padahal ia tak memiliki sawah. Tapi, ia selalu menyukai sawah.

***
Kami tamu pertama di rumah duka. Jasad kakak sudah dibalut dengan kafan. Tak lama rumah duka mulai ramai. Wajar, pikirku. Pak tua itu adalah orang aneh yang menjadi penutan warga.
Aku terdiam. Memutar kembali jarum jam saat pak tua itu tiba-tiba menghancurkan bangunan legoku yang sudah kubangun dengan susah payah.
“Tak perlu susah payah membangun tumpukan bata. Akhirnya tumpukan tanah yang akan menutupi.”
Saat itu umurku masih sepuluh tahun. Tak maksud apa yang digumamkan pak tua itu. Namun ia terus melanjutkan celotehannya.
“Kamu lihat sengatan raja siang itu? ia menumbuhkan padi yang mulai menguning.” Ujar pak tua itu sambil melemparkan bola matanya ke sawah di seberang jalan.
“Padi itu tumbuh dari benih yang lemah, semakin tinggi, dan semakin berisi. Namun, padi itu akan kembali dicabut oleh sang petani. Akan dihargai hasil buah padi yang putih, bagus dan bermutu. Kemudian dibuanglah padi yang buruk. Kamu paham, Cu?”
Aku menggelengkan kepala.
Kakek tertawa sambil menikmati secangkir kopi hitam ditangannya.
“Kamu harus jadi padi yang berkualitas. kelakk setelah dicabut oleh sang petani, kamu akan digeromboli oleh burung. Namun, apa kamu tahu? Burung-burung itu mencarimu karena lapar, tak pernah terpikir apabila ketahuan oleh petani, burung itu akan diusir atau bahkan dibunuh kemudian digoreng.”
Alisku semakin mengerut.
Pak tua itu kembali tertawa dan menyeruput kopinya.

***
Tubuhku terpaku di dekat jasad pak tua ini yang sudah terbujur kaku. Aliran perasaan mulai mengalir di setiap lekuk wajahku. Betapa tidak? Setelah umurku 20 tahun ini, aku baru mengerti ucapan kakek sepuluh tahun silam.
Petani itu analogi Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suara? Hujan Sore Itu Kala itu, ketika rintik hujan membasahi bumi. Terdengar rintihan suara lembut di sudut ruangan itu. Aku pun terbangun dari lamunanku. Mulai kuperhatikan sumber suara itu. Siapakah gerangan? Sorot mataku semakin tajam, daun telingaku semakin peka, dan kakiku mulai melangkah. Perlahan, aku dekati sumber suara itu.  Langkahku semakin mendekat, namun suara itu semakin jauh.  Tiba-tiba…byar. Langkahku terhenti karena seruan Ayahku. “Nak, sedang apa kamu di sana? Daritadi ayah tidak mendengar suaramu.” ucap Ayah.  “Oh… Emm… Enggak apa-apa Ayah.” jawabku.  Saat itu, memang hanya ada aku, Ayah, dan Kakak di rumah. Ayah sedang membaca Koran di ruang keluarga ; Kakak sedang tidur di kamarnya ; Ibu di rumah tetangga mengikuti pengajian.  Setelah mengecek keadaanku, Ayah kembali membaca koran dan sedikit menyeruput kopi hangat buatan Ibu. Aku kembali dalam lamunan, terjerat dalam rasa penasaran. Suara siapa tadi? Suara itu menghilang s...
Anak Tangga Nur Septiani Wulandari Inginku menghancurkan dunia. Ya, dunia. Dunia dalam penaku. Apa kau pikir aku bisa menghancurkan dunia? Hah (mendengus kesal). Bukan aku yang menghancurkan dunia, tapi seonggok kecil ego mereka yang menghancurkn duniaku. Malam ini bulan tak purnama. Apakah kau melihat? Perhatikan! Apakah bulan itu mendengus? Atau hancur berkeping-keping? Kurasa tidak. Bulan itu hanya menutupi sebagian cahayanya saja. Esok atau tulat atau tubin mungkin bulan pasti kembali bulat atau bahkan menghilang ditelan kegelapan malam. Siapa yang tau hari esok? Kau tidak akan bisa memprediksinya. Malam ini juga, aku termenung di sudut keramaian. Tersisihkan hampir tak terlihat. Seperti sebagian cahaya bulan yang menghilang itu. Apa kau sadar? Aku di sini memperhatikan kau. Menunggu kau menoleh sedikit pada dinding-dinding angin malam. Mulut ini bergetar, bukan karena udara dingin yang menerjang wajah mungilku. Namun, banyak sekali kisah-kisah telah termakan oleh...
Mimpi Diantara Mimpi Ketika pagi menarik sang fajar tuk membentangkan keindahannya. Aku baru terbangun dari mimpiku. Mimpi seperti bukan mimpi, mimpi yang ada dalam mimpi, atau mimpi sang pembuat mimpi.  Entahlah, aku lelah memikirkan mimpi serta mimpi yang menggelayut dalam pikiranku.  Yang menjadi pertanyaan ku sekarang, mengapa ketika ku terbangun, aku sudah memegang tiga kotak hitam. Satu di tangan kananku, satu di tangan kiriku, dan satu lagi di atas kepalaku. Dari manakah datangnya kotak itu? Apakah itu mimpi? Atau aku masih dalam mimpi?.  *** Aku mulai beranjak dari tempat tidurku dan pergi mencuci mukaku. Sembari ku lihat sekitar apakah aku masih dalam mimpi?. Setelah beberapa menit mengawasi setiap kejadian di sekitar ku. Akupun mulai yakin ini bukanlah mimpi.  Aku memulai aktivitas seperti  biasa dimulai dari membereskan kamar tidurku.  Ketika itu mataku kembali menatap tiga kotak itu. Seperti ada aura yang memanggilku untu...