Langsung ke konten utama
Pertemuan Hujan
Di sore hari saat hujan mengguyur tanah-tanah yang kering. Sepasang kakak beradik sedang berbincang-bincang dibalik jendela rumahnya. Sambil memperhatikan hujan sang kakakpun bercerita kepada adiknya.
“Suatu hari ada seorang remaja bernama Risa. Ia seorang remaja yang ceria dan tak pernah kenal lelah. Ia memiliki seorang teman bernama Aisyah. Mereka mulai saling mengenal ketika mereka sedang menunggu bus di sebuah halte yang sama. Saat itu mereka masih satu sekolah di SMA 5 Harapan. Semenjak itulah mereka mulai saling mengenal dan terus menjaga hubungan mereka sampai 3 tahun lamanya.
Walaupun sekarang mereka sudah berbeda sekolah, karena Risa melanjutkan ke Univ yang ada di Bandung dan Aisyah melanjutkan sekolahnya ke salah satu Univ yang ada di Yogyakarta. Namun, mereka selalu berkomunikasi tanpa putus.
Apakah adik tahu kenapa Risa dan Aisyah selalu bersahabat dan bisa menjaga hubungannya?” tanya kakak pada sang adik
“Sepertinya mereka punya watak dan karakter yang sama ya kak? Kakak belum menyebutkan Aisyah itu seperti apa orangnya?” kata sang adik.
Kakak menjawab “Bukan dik, bukan karena mereka memiliki watak dan karakter yang sama. Risa seorang yang ceria dan tak pernah kenal lelah. Ia selalu ingin mencari hal yang baru, di kampusnyapun ia mengikuti beberapa organisasi. Namun, Aisyah ini sangat berbanding terbalik dengan Risa, Aisya adalah seorang yang kalem, diam, dan tak banyak bicara, tetapi dia seorang yang taat dengan agamanya. Kenapa mereka awet menjalani hubungan mereka? Karena Aisyah selalu bisa membawa Risa lebih kalem dan sedikit-sedikit Risa bisa mengenal agama. Aisyah selalu mengajak Risa untuk tidak melupakan shalat.
Suatu hari Risa down, tubuhnya kelelahan dan iapun dirawat di rumah sakit. Saat itu Aisyah tidak tahu dan iapun tak diberi kabar sampai tiga hari lamanya. Aisya mulai gelisah karena tidak ada kabar dari sahabatnya itu. Ia mencoba menghubungi orangtua Risa. Setelah tahu Risa dirawat, ia tanpa pikir panjang langsung membeli tiket kereta kearah Bandung.
Setelah sampai di rumah sakit, Aisyah melihat orangtua Risa menangis. Perasaan ia mulai ga enak, sepertinya ada yang ga beres?. Aisayah mendatangi orangtua Risa dan bertanya sebenarnya apa yang terjadi dengan Risa. Orangtua Risapun bercerita, hampir satu jam lamanya Aisyah mendengarkan semua cerita dari orangtua Risa. Ternyata selama ini Risa menyembunyikan penyakitnya sama Aisyah. Risa memiliki kanker di payudaranya dan sekarang sudah stadium 4. Aisyahpun menangis merasa bersalah ia tak tahu penderitaan apa yang sedang dimiliki oleh sahabatnya. Tak lama Aisyah menghapus air matanya dan masuk menemui Risa. Risa masih bisa melihat saat itu. Risa menggenggam tanganku dan ia mengucapkan terimakasih sudah membawaku dekat dengan Allah, sekarang ia ikhlas apabila Allah memanggilnya. Aisyah menangis dan memeluk Risa, seolah itu adalah pelukan terakhir mereka.
Setelah dua hari kondisi Risa semakin memburuk. Waktu itu bertepatan dengan hari jumat dan Risa sedang shalat ashar di tempat tidurnya. Matanya terpejam, Aisyah mengira ia sedang khusyuk. Ternyata setelah satu jam kemudian Risa belum membuka matanya dan masih dalam keadaan tangan bersedakep seperti orang shalat. Aisyah panik ketika Risa tak bernapas lagi, ia langsung memanggil dokter dan orangtua Risa.
Ternyata itu adalah akhir pertemua mereka. Risa pergi dengan tenang dan ia sangat berterimakasih kepada Aisyah yang selalu mendoakannya dan membimbingnya untuk mengenal islam.”
Nah, adikku tersayang, kalau kelak kamu memiliki teman dekat dan ia masih awam tentang islam. Ajak dia, supaya kelak kalian akan saling mencari di Surganya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kontribusiku Untuk Indonesia

Nur Septiani Wulandari adalah nama yang orang tua saya berikan untuk saya. Saya lahir di Pandeglang pada 16 September 1997. Saya memiliki satu kakak perempuan yang paling saya cintai dan dua orang adik laki-laki yang paling saya sayangi. Menjadi seorang mahasiswa PGSD di UPI Kampus Tasikmalaya mengajak saya untuk terus berkarya dalam bidang pendidikan. Di kampus inilah saya menemukan diri saya, saya menemukan ruang nyaman saya bergerak dan berkarya. Jika ditanya mengenai kontribusi apa yang saya lakukan untuk Indonesia? Jawaban yang sudah pasti adalah saya selalu belajar untuk bisa berkarya untuk Indonesia. Saat saya duduk di bangku SD, saya mulai mengenal tarian tradisional khas Cirebon yaitu tari topeng. Saya mulai tertarik dan mementaskannya di beberapa acara. Selain itu saya juga mulai tertarik dengan sastra puisi, lebih tepatnya dalam membaca puisi. Saya mulai mendalami teknik-teknik membaca puisi dan mencari pengalaman melalui lomba-lomba membaca puisi. Saya mulai menemukan
Anak Kita Pergi Mengejar Layang-Layang Seorang pria duduk di kursi rotan dengan menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Tangannya memegang secarik kertas yang berisi deretan kata-kata fakta dan opini, terkadang juga ada iklan perumahan atau lowongan pekerjaan. Ditemani teh hangat racikan kekasihnya. Bola mata pria itu berjalan ke kanan dan ke kiri, terkadang dahinya ikut mengerenyut, terkadang bibirnya sedikit tersenyum, dan tak jarang ekspresinya sangat datar. Setelah beberapa menit, akhirnya ia berbicara. "Sayang." "Iya." "Anak kita sedang apa?" "Sedang main layang-layang." "Matahari baru terbangun, ia sudah bermain layang-layang?" "Iya." Pria itu terdiam lagi, kembali bermesraan dengan kertas-kertas beritanya. *** Sekitar pukul sepuluh pagi, pria itu akan pergi ke kebun. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dengan celana kolor yang tidak penuh menutupi lututnya, di lehernya menggantung
Suara? Hujan Sore Itu Kala itu, ketika rintik hujan membasahi bumi. Terdengar rintihan suara lembut di sudut ruangan itu. Aku pun terbangun dari lamunanku. Mulai kuperhatikan sumber suara itu. Siapakah gerangan? Sorot mataku semakin tajam, daun telingaku semakin peka, dan kakiku mulai melangkah. Perlahan, aku dekati sumber suara itu.  Langkahku semakin mendekat, namun suara itu semakin jauh.  Tiba-tiba…byar. Langkahku terhenti karena seruan Ayahku. “Nak, sedang apa kamu di sana? Daritadi ayah tidak mendengar suaramu.” ucap Ayah.  “Oh… Emm… Enggak apa-apa Ayah.” jawabku.  Saat itu, memang hanya ada aku, Ayah, dan Kakak di rumah. Ayah sedang membaca Koran di ruang keluarga ; Kakak sedang tidur di kamarnya ; Ibu di rumah tetangga mengikuti pengajian.  Setelah mengecek keadaanku, Ayah kembali membaca koran dan sedikit menyeruput kopi hangat buatan Ibu. Aku kembali dalam lamunan, terjerat dalam rasa penasaran. Suara siapa tadi? Suara itu menghilang seketika, saat Ayah meman