Anak Kita Pergi Mengejar Layang-Layang Seorang pria duduk di kursi rotan dengan menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Tangannya memegang secarik kertas yang berisi deretan kata-kata fakta dan opini, terkadang juga ada iklan perumahan atau lowongan pekerjaan. Ditemani teh hangat racikan kekasihnya. Bola mata pria itu berjalan ke kanan dan ke kiri, terkadang dahinya ikut mengerenyut, terkadang bibirnya sedikit tersenyum, dan tak jarang ekspresinya sangat datar. Setelah beberapa menit, akhirnya ia berbicara. "Sayang." "Iya." "Anak kita sedang apa?" "Sedang main layang-layang." "Matahari baru terbangun, ia sudah bermain layang-layang?" "Iya." Pria itu terdiam lagi, kembali bermesraan dengan kertas-kertas beritanya. *** Sekitar pukul sepuluh pagi, pria itu akan pergi ke kebun. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dengan celana kolor yang tidak penuh menutupi lututnya, di lehernya menggantung...
Pak Tua Bruk! Suara gebrakan pintu terdengar. Aroma kepanikan mulai menegangkan bulu kuduk. Kakak pulang dengan muka pucat lagi panik. “Ada apa, Kak?” Tanyaku. “Kakek meninggal.” Kami terdiam, saling menatap, mulut terkunci, dan tubuh mulai terasa melayang. Aku tersungkur di pelukan kakak. *** Tidak membuang waktu. Kami langsung melipat beberapa baju yang dikemas dalam tas gendongku. Tidak pikir panjang. Kami melangkahkan kaki seribu menuju rumah duka. Di perjalanan, kakak terus menyebarkan berita duka. Aku terus menggenggam kaligrafi berlatar sawah pahatan kakek yang kuterima setahun lalu. *** Perabot rumah menjadi saksi kematiannya. Tahta yang dimiliki anak-anaknya membuat ia hidup sebatangkara. Kotak surat yang rutin terisi dengan amplop kecil berisi rupiah ikut menemani. Tubuh rentanya selalu mandiri membawa cangkul dan parit. Padahal ia tak memiliki sawah. Tapi, ia selalu menyukai sawah. *** Kami tamu pertama di rumah duka. Jasad kakak sudah dibal...